Wait


# Aku menggumam tak jelas sembari mendengarkan musik melankolis di komputer. Mungkin kesadaranku terserap ke dalam lirik-liriknya yang entah mengapa serasa pernah terjadi dalam lajur kehidupanku. Ini adalah track list keempat yang membuatku tak berhenti melamun dan melambaikan kesadaranku di awang-awang kamar bercat hijau ini. Berkali-kali aku melirik layar ponsel yang berada tak jauh dariku. Ada yang membuatku menunggu dan jangan berpikir konyol bahwa dia adalah pacar atau laki-laki yang sedang ku taksir. Dia adalah teman dekatku yang berada sekian ratus mil jauhnya dari kota panas ini. Satu-satunya teman yang menerima dan mengerti bahwa aku merupakan sesosok alien yang menjelma sebagai perempuan melankolis diakhir seperempat abad umurnya. Aku bertemu dengannya tiga tahun yang lalu, anggaplah seperti itu, dan kami akhirnya menjadi dekat. Aku menganggapnya benar-benar istimewa karena berada di dekatnyalah aku bisa menjadi manusia yang bebas. Ia memahami keanehan sifat dan kesenanganku, hal yang sangat kunikmati. Ia menyadari kelemahan dan rasa marahku, hal yang membuatku teramat menghormatinya. Terasa pertama kali bagiku bertemu manusia seperti itu.

Aku masih berkali-kali menatap layar ponselku. Mungkin ia masih sibuk atau sedang out of credit. Aku tak bisa bercerita bebas seperti sebelum-sebelumnya, karena ia sudah berkeluarga. Dan kau tahu betapa sulitnya menjaga persahabatan seperti sebelum-sebelumnya ketika salah satu dari sahabatmu menikah. Hidupmu seperti sengaja dibagi menjadi sekian kotak dan porsi. Kau harus puas mendapatkan porsi menit terkecil dari 24 jam hidup sahabatmu. Mungkin karena kau 'hanya' seorang sahabat. Kehilangan sahabat terasa lebih baik daripada kehilangan suami atau keluarga.

Pesan yang kukirim padanya bukan hal penting memang. Tapi aku menantikan tanggapannya, bahkan terkadang merindukannya. Kurasa dia tak merasakan hal yang sama denganku. Aku masih sering kecewa dengannya dan kadang tak segan-segan mengatakan padanya secara langsung. Sarkastik. Beberapa waktu yang lalu ia bahkan melabeliku sebagai teman yang penuh pamrih. Karena aku seringkali mengharapkan hal yang sama seperti yang kulakukan padanya. Aku kadang tertawa nyeri dalam hati. Sepertinya dalam keadaan apapun aku benar-benar tak bisa berbohong padanya. Aku mengatakan hal itu karena aku hanya ingin berkata yang sebenarnya. Aku sungguh-sungguh tak perlu berbohong padanya. Dan itulah yang membuatku berkali-kali berterima kasih padanya.

Ketika hendak ke kamar mandi, aku mendengar suara ponselku berbunyi. Tanda pesan masuk. Aku bergegas menunda tujuanku dan berlari terhuyung ke kamar mungilku yang panas. Sayangnya mengecewakan. Itu hanya pesan spam yang akhir-akhir ini tak pernah absen mampir ke ponselku. Aku menyadari wajahku muram karena kecewa. Pesan itu kukirim hampir 12 jam yang lalu. Apa yang ia lakukan? Dan mengapa aku begitu gelisah menunggu?

Masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Ketika aku melakukan hal yang menyenangkan, aku selalu berbagi dengannya. Hanya lewat pesan singkat yang kadang tak lebih dari satu layar. Seperti ketika aku membaca buku yang membuatku berapi-api, aku menulis kutipan dari buku dan mengirimkan padanya. Aku ingin dia tahu betapa senangnya aku berteman dengannya. Pada dasarnya itu saja niatku. Tapi kurasa aku harus dengan tulus dan tabah menerima porsi jatah persahabatannya dari sekian menit dalam 24 jam menjadi sekian menit dalam 2-3 hari.

Beberapa waktu yang lalu dengan sengaja kuhapus nomornya dari list number ponselku. Berharap mungkin kuakhiri saja menghubunginya dan make friend with another one. Namun, ketika ia menghubungiku rasanya cukup lenggang ruang yang sengaja ingin kuberikan pada orang lain. Ia masih teman baik yang menyenangkan sekaligus mengecewakan bagiku. Aku tak ingin menjadi sepertinya dan itu adalah pelajaran amat berharga bagiku. Aku berpikir bahwa ia terjebak dengan rutinitas yang dengan mudah bisa ditebak semua orang. Bekerja hingga sore hari lalu melayani keluarganya hingga jam malam datang. Aku mengira-ngira hingga kapankah ia berencana berada di poros yang sama seperti itu? Aku mencibir sekaligus takjub padanya. Ia teguh sekali. Hampir setiap kali aku berkata demikian padanya, ia dengan jawaban yang sama mengatakan bahwa aku tengah berusaha merubahnya menjadi seperti diriku. Lalu ia menguatkan argumennya dengan berkata bahwa ia sangat menikmati hidupnya dengan ceria. Detik berikutnya aku tertawa lagi. Aku berusaha mati-matian untuk menjadi tidak sempurna dan keluar dari jalur mainstream. Tapi, belum pula aku keluar dari semua itu, ia dengan mudah mengatakan bahwa aku cukup ekstrim. Aku tertawa lagi. Aku sama sekali tak pernah mengajaknya menjadi anak 'nakal' sepertiku, aku berusaha menyakinkannya bahwa tak salah mencoba sesuatu yang diluar dugaan. Setelah itu kami pasti berdebat panjang lebar lagi. Tak selesai dan memang begitu seharusnya. Aku menikmati setiap momen bertengkar, berteman lagi, bergurau, bahkan saling todong bersamanya. Aku juga sangat menikmati saat-saat ketika ia mulai mendeskripsikanku seperti ini dan itu. Ia memahamiku seperti pelangi penuh warna dan kejutan sedangkan aku memahaminya sebagai manusia flat yang hanya berputar pada siklus yang itu-itu saja.

10.40 PM. Kurasa ia takkan membalas pesanku hari ini atau bisa jadi takkan membalasnya hingga beberapa hari ke depan. Meskipun ia membuatku menunggu, perlahan rasa kecewaku lenyap setelah aku menulis semua ini. Aku membayangkan wajahnya yang ceria, berkerut, dan tertawa ketika ia membaca catatan ini diblog yang hampir tak pernah kusentuh. Lalu pelan-pelan ia bertanya pada dirinya sendiri, "sepenting itukah aku untukmu, teman?". Tentu saja. Aku takkan bohong pada diriku sendiri dengan mengatakan hal sebaliknya. Setidaknya kamu tahu bahwa kehadiranmu tak pernah tak berarti di dunia ini, karena itu: jagalah kesehatanmu.

Yogyakarta, Sunday 16 August 2015
Hot summer, I hate it so much

My Hard Days






Hari-hari berat bagi saya karena beberapa tuntutan tugas wajib seorang mahasiswa. Saat saya sedang menulis ini, saya tengah berada diambang pintu akhir semester 3 yang kata banyak orang sangat menentukan arah penelitian yang hendak dilakukan. Benar. Saya sedang mempersiapkan proposal penelitian saya untuk tugas akhir saya nanti yang berupa tesis. Awalnya saya berpikir bahwa sebenarnya cukup mudah mengambil lokus kajian untuk penelitian akademik. Yah, ternyata saya terlalu menganggap enteng sebuah penelitian terutama ketika saya tidak bisa bernegosiasi dengan ego saya sendiri. Akhirnya, yang terjadi adalah ketika saya hampir setengah jalan ada beberapa hambatan yang datang kemudian akibat kurang matangnya pertimbangan saya dalam memilih lokus kajian. Saya terjebak di dua pilihan simalakama yang sama-sama pahit. Satu pilihan menjebak saya dalam penelitian yang hampir dan beberapa persen sama dengan penelitian teman seangkatan saya dalam program studi yang sama, dan di sisi lain saya terjebak keterbatasan pengetahuan saya yang terlampui universal untuk seorang lulusan Sastra Inggris.

Kemudian saya dihadapkan lagi pada pilihan ketiga yang benar-benar baru. Dilematisnya, saya kemudian harus memulai segalanya dari awal lagi dan meninggalkan persiapan saya yang sudah setengah jalan. Saya bahkan bisa merasakan bagaimana pikiran saya berteriak-teriak kacau menghadapi semua pilihan dilematis tersebut. Belum lagi persoalan waktu dan dateline membaca beberapa teori penunjang lainnya. Diantara beberapa kekacauan pikiran tersebut, saya kemudian berkesimpulan sederhana yang terlampau ngawur bahwa 'semakin seseorang paham tentang sesuatu, maka semakin komplekslah kehidupan yang ia jalani' (sambil ketawa ironis).

Dalam perjalanan pulang ke Malang
(KA Malioboro Ekspres, tepat disalah satu stasiun Madiun)
22.54 wib


Selasa, 16 Desember 2014