Belajar Keras


Tak ada yang bisa menyamai buah dari kerja keras selain sebuah kesuksesan. Itulah yang seringkali saya ucapkan untuk mendorong semangat adik ragil saya yang baru menempuh ujian akhir nasional. Ia kerapkali menceritakan mimpi dan harapannya untuk keluarga ketika saya pulang. Di tengah minimnya sarana penunjang mimpinya itu, ia berani memiliki keinginan yang kuat demi keluarga. 



Beberapa tahun yang lalu, ia sempat memberitahu saya tentang impiannya untuk kuliah dibidang sains. Menggebu sekali berkata akan merajut impian dengan kerja keras. Dan well, memang terbukti dia akhirnya mampu meraih juara kelas dan sering mengikuti olimpiade sebagai delegasi dari sekolah. Kerja kerasnya membuahkan hasil yang maksimal ketika dia berhasil menguasai ilmu sains yang paling ditakuti sepenjuru sekolah. Menyamai sang juara dari kelas lainnya yang seangkatan dengannya. 


Dan kini, adik saya yang sudah dewasa tapi masih suka bimbang itu hendak mendaftarkan diri disalah satu PTN di Malang untuk mengambil jurusan Matematika. Setelah saya berusaha meyakinkan dia agar tidak takut untuk meraih mimpi apapun, dia membulatkan tekad untuk mendaftarkan diri lewat jalur beasiswa di sekolahnya. Terlihat sekali ia berusaha keras mendapatkan beasiswa mengingat perekonomian keluarga cukup sulit. Beberapa kali ia membujuk pihak sekolah untuk membantu mengurus beasiswanya ke PTN. Tetapi sekolah seakan berbelit-belit mengurus administrasi internalnya sendiri. Saya benar-benar prihatin melihat dia mencurahkan energi untuk persiapan UN dan mengurus beasiswanya sendiri. Setiap hari ia berangkat sepagi mungkin untuk belajar, lalu pulang sekitar pukul 18.00 atau ketika maghrib tiba. Ia bahkan rela mengerjakan tugas-tugas yang mestinya diselesaikan TU sekolah demi beasiswanya. 


Ah, adikku yang benar-benar pekerja keras akhirnya menemui jalan buntu yang perlahan memupuskan rasa percayanya pada sekolah dimana ia mengabdi dan menumbuhkan jati diri. Namun, ada satu hal yang hingga kini ia semai meskipun beasiswanya menemui jalan buntu. Rasa percaya bahwa ia akan tetap menjadi si pemimpi yang mampu merealisasikan impiannya meski dengan cara lain. Akhirnya, karena ayah tak tahan melihat ia begitu menggebu dengan mimpinya. Beliau akhirnya mengusahakan biaya mandiri untuk adik. Biaya yang tidak sedikit mengingat pemasukan keluarga kami hanya sekian ratus ribu perbulannya. Ayah tak menyurutkan langkah pasti adikku untuk menggapai cita-cita, mengatakan padanya bahwa Tuhan selalu memberi jalan lain untuknya. 


Akhirnya, kerja keraslah yang mampu membuatnya kembali menjadi 'seseorang' yang lebih dari teman sebayanya. Mimpilah yang membantunya menemukan jati diri dan kekokohan sikapnya. Ah, terima kasih Tuhan telah memberi kami adik yang membanggakan.


Malang, 16 Mei 2012.
23.03 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar