Selamat hari ibu, Inak…


Malang, 22 Desember 2011
Terima kasih tak berbatas untukmu yang memberiku ruang seluas hatimu.






Pukul 07.45 wib
Asrama MSAA, kamar 17
“Telepon dari siapa yang kamu tunggu, Ry?” tanya mbak Mita
Aku hanya tersenyum simpul, lalu kembali merenung.
Menunggu telepon darinya. Lama sekali tak mendengar suaranya, ada kerinduan tak terdefinisi yang tiba-tiba merasuk.
“Yeee,,, Mama tadi telepon katanya dia mau ke Malang, Yuhuuuu, bisa makan besar neh kita.” Shasa tiba-tiba berteriak. Membuyarkan sejenak angan-anganku.
“Oh ya? Ibuku tadi juga telepon katanya dia sekarang lagi di bandara Singapore, bentar lagi mau pulang trus mampir ke Malang dulu. Hmmm, tau aja anaknya lagi kangen berat. Hehehe…” celetuk Nita.
Dan sekarang lamunanku benar-benar buyar dan hancur, posisi merenung menjadi posisi manyun yang bercampur iri.
Aku sedang menunggu sesuatu untuk kuceritakan juga pada mereka.
Tapi cerita itu belum juga muncul dan malah semakin membuatku putus asa. Khawatir aku tak bisa bercerita.
“Eh, Febri mau kemana? Kok udah rapi gitu?” tanya Ria
“Aduh, maaf ya gals, mama lagi nunggu aku di depan kampus sama papa. Mereka mau ke rumah nenek di Jombang, tapi mampir dulu kesini. Sori, aku buru-buru banget.” Febri merapikan jilbabnya lagi sambil berlari keluar kamar.
“Hmmm, pantesan tadi aku lihat ada mobil bagus markir di depan kampus pagi-pagi banget, ternyata mamanya Febri ya.” Ujar Ria manggut-manggut.
Hatiku lemas.                                                                    
Sudahlah, mungkin belum waktunya melabuhkan kangenku.
“Gimana Ry? Ibu sudah telepon belum?” tanya mbak Mita yang tiba-tiba menghampiriku.
Aku hanya tersenyum. Itu yang ku lakukan padanya semenjak beberapa waktu yang lalu.
“Mungkin ibu sedang ada pekerjaan di rumah, jangan sampai su’udzan ibu gak kangen kamu lho ya. Beliau pasti kangen sama kamu.”
Mbak Mita menepuk-nepuk punggungku. Aku tak tahu harus bilang apa, sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya.
Aku mengangguk meyakinkan mbak Mita, lalu merasakan lagi bagaimana kerinduan itu menyerang.
Kutatap layar handphone, masih belum berkedip ataupun berubah dari tempat semula.

Pukul 10.26 wib
Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Sosok itu,,,
Berdiri memunggungiku, di antara desakan orang-orang yang baru keluar dari ruang kelas. Mematung dengan tas lusuhnya.
Aku melihatnya,
“Inak…”
Sosok itu menoleh.
“Ry… berembe kabar da datu?
“Inak, Alhamdulillah Tiyang baek-baek daet sehat saja.
Ada sesuatu yang membuncah di dadaku, melihat sosoknya yang tiba-tiba terasa nyata di hadapanku. Aku memeluknya erat, ingin menumpahkan tekanan kerinduanku yang lama sekali tertumpuk waktu pada Inak. Aku merasakan punggungku basah, Inak menangis. Aku semakin erat memeluknya.
Inak kangen gati le’ kem anak…”
Ujar Inak sambil tersedu dipelukanku.
“Ry kangen le’ side, Inak. Kangen gati
Inak melepas pelukanku dan mengusap lembut airmata tak tertahan di wajahku. Aku membimbingnya ke asrama, menggandeng tangannya yang keriput terbawa arus waktu.
“Kenapa Inak kesini?” tanyaku di tengah perjalanan.
Inak tersenyum.
“Inak terlalu kangen sama Ry, tak tertahan sampai ingin bertemu Ry sesegera mungkin.” Ujar Inak.
Ada yang mengelupas perlahan di relung hatiku, Inak jauh sekali berjalan hanya untuk menumpahkan kerinduan padaku. Ada yang mengganjal di dada, ingin memeluk Inak sepuas jiwaku.
Di asrama, teman-teman sekamar menyambut Inak dengan senang. Bertanya bagaimana masa kecilku berlalu, bagaimana Inak membesarkanku, dan bagaimana Inak berusaha sekuat tenaga untuk tidak lemah karenaku.
“Ry, anaknya dulu tidak sombong dan rajin sekali belajar. Karenanyalah, Inak berjanji untuk menyekolahkannya setinggi mungkin. Sampai dia ketemu kalian disini.” Inak bercerita penuh semangat tentangku dan perjalanan kami menempuh kehidupan ini. Teman-temanku mengelilinginya dan mendengar dengan penuh perhatian tentang cerita Inak.
Aku menatap Inak, senyumnya yang selalu membuatku ingin berada di sampingnya. Betapa keras perjuangan Inak selama ini, berusaha menjalani hidup memperjuangkan mimpi-mimpi yang ku bangun bersama Inak seorang. Terbesit di pikiranku, apakah Inak pernah merasa sendirian ketika aku harus jauh merantau ke Malang? Bagaimana Inak melewati duri-duri jejalan di kakinya ketika aku tak berada di sampingnya?
Ah, Inak hadir di hadapanku kini adalah hadiah terindah yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Mencintaiku seperti putrinya sendiri, meskipun aku tak pernah lahir dari rahim Inak. Aku sempat berandai-andai, betapa bahagianya ‘dia’  yang pernah mampir di rahim Inak. Karena Inak tak mungkin meninggalkannya sendiri dalam gelapnya rongga rahim.
Terima kasih Inak, mestinya aku tak hanya memberikan Inak senyum, tetapi kebahagiaan yang lebih dari sekedar tersenyum. Selamat Hari Ibu, Inak…


Keterangan
Inak                                                     : Ibu
Berembe kabar da datu?                     : Bagaimana kabarmu nak?
Tiyang baek-baek daet sehat saja      : Saya baik-baik saja dan sehat
Inak kangen gati le’ kem anak             : Ibu kangen sekali sama kamu
Ry kangen le’ side, Inak. Kangen gati  : Ry kangen juga sama Inak, kangen sekali.


Qoriatul Mahfudhoh Qoffal
“Fragmentasi untuk wanita terhebat dalam hidupku, Ummi
Malang, 22122011, 13.45 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar