Si Coro....

Entah kenapa saya sangat benci dan takut sekali melihat kecoa. Sampai-sampai setiap kali melihat ada apapun yang mirip dengan kumis si coro, saya langsung terlonjak jantungan sampai mau pingsan tanpa sempat teriak. 

Kalau di tanya ‘mengapa’ dengan agak paksa, saya selalu menjawab dengan realita yang ada kalau si coro itu bentuknya sangat jelek dan menyeramkan dengan kulit coklat gelap yang mengilap. Saya cukup trauma dengan si coro, karena sewaktu kecil tulang lengan saya ada yang patah dan uratnya membengkak karena jatuh dari kasur saat hendak melarikan diri dari tatapan si coro. Menangis? Tentu saja itu terjadi serempak dengan teriakan saya yang cukup bikin rumah geger. Padahal mungkin dibenak si coro, ia heran juga melihat saya yang langsung melonjak tak karuan padahal ia cuma melihat saja. Alhasil, saya yang awalnya lumayan takut menjadi semakin takut. Setiap kali saya melihat ada si coro jalan-jalan dengan wajah tanpa dosa, teriakan saya membahana dan langsung kabur ke tempat yang lebih tinggi.
Hal sama juga terulang ketika saya semester 5 kemarin. Saat itu saya santai duduk di lantai, tiba-tiba saya mendengar sayup-sayup ada yang bergerak di balik plastic kresek bekas bungkus makanan. Awalnya si coro cuma mengintip-intip dengan takut, tapi mungkin karena dia melihat bola mata saya yang hampir meloncat si coro jadi semakin takut dan melarikan diri dari tempat persembunyiannya. Bukannya saya malah seneng dengan aksi ‘melarikan diri’-nya si coro yang kelihatan terbirit-birit, saya malah teriak dan melonjak tak karuan sampai jatuh. Alhasil, urat lengan saya kembali seperti tertarik dan membuat saya sulit menggerakkan tangan. Nyerinya luar biasa, tapi rasa nyeri itu terkalahkan dengan paranoid saya sama si coro.
Mengutuk dan kata-kata jelek akhirnya keluar dari mulut saya saat itu, mengingat bagaimana si coro nggak pernah tahu aturan kalau mau nongol. “Benci, benci, benci…”
Akhirnya, lengan saya yang bengkak di bawa ke tukang pijat depan kampus. Gara-gara insiden kaburnya si coro yang bikin saya kaget setengah mati itu, dilengan atas saya ada urat yang tiba-tiba menampakkan diri. Terlihat sekali sampai sekarang. Mungkin efek pemijatan yang cukup bertenaga sampai-sampai seperti itu. Saya lebih suka melihat ulat bulu yang megal-megol menyebrangi jalan dari pada si coro yang nongol. Terlalu riskan untuk jantung saya.
Sampai-sampai mendengar nama si coro saja saya sudah cukup kaget dan merinding. Awalnya mungkin hanya beberapa alasan kecil saya membenci si coro, namun ternyata si coro malah semakin berulah dengan wajah innocent-nya itu makanya saya semakin jijik dan trauma. Saya membenci bukan berarti suka membunuh, bagaimana mau membunuh si coro, lha wong melihatnya dari jarak 5 meter saja saya sudah kabur.  Hahaha…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar