Entah kenapa saya sangat benci dan takut
sekali melihat kecoa. Sampai-sampai setiap kali melihat ada apapun yang mirip
dengan kumis si coro, saya langsung terlonjak jantungan sampai mau pingsan
tanpa sempat teriak.
Kalau di tanya ‘mengapa’ dengan agak paksa,
saya selalu menjawab dengan realita yang ada kalau si coro itu bentuknya sangat
jelek dan menyeramkan dengan kulit coklat gelap yang mengilap. Saya cukup
trauma dengan si coro, karena sewaktu kecil tulang lengan saya ada yang patah
dan uratnya membengkak karena jatuh dari kasur saat hendak melarikan diri dari
tatapan si coro. Menangis? Tentu saja itu terjadi serempak dengan teriakan saya
yang cukup bikin rumah geger. Padahal mungkin dibenak si coro, ia heran juga
melihat saya yang langsung melonjak tak karuan padahal ia cuma melihat saja.
Alhasil, saya yang awalnya lumayan takut menjadi semakin takut. Setiap kali
saya melihat ada si coro jalan-jalan dengan wajah tanpa dosa, teriakan saya
membahana dan langsung kabur ke tempat yang lebih tinggi.
Hal sama juga terulang ketika saya semester 5
kemarin. Saat itu saya santai duduk di lantai, tiba-tiba saya mendengar sayup-sayup
ada yang bergerak di balik plastic kresek bekas bungkus makanan. Awalnya si
coro cuma mengintip-intip dengan takut, tapi mungkin karena dia melihat bola
mata saya yang hampir meloncat si coro jadi semakin takut dan melarikan diri
dari tempat persembunyiannya. Bukannya saya malah seneng dengan aksi ‘melarikan
diri’-nya si coro yang kelihatan terbirit-birit, saya malah teriak dan melonjak
tak karuan sampai jatuh. Alhasil, urat lengan saya kembali seperti tertarik dan
membuat saya sulit menggerakkan tangan. Nyerinya luar biasa, tapi rasa nyeri
itu terkalahkan dengan paranoid saya sama si coro.
Mengutuk dan kata-kata jelek akhirnya keluar
dari mulut saya saat itu, mengingat bagaimana si coro nggak pernah tahu aturan
kalau mau nongol. “Benci, benci, benci…”
Akhirnya, lengan saya yang bengkak di bawa ke
tukang pijat depan kampus. Gara-gara insiden kaburnya si coro yang bikin saya
kaget setengah mati itu, dilengan atas saya ada urat yang tiba-tiba menampakkan
diri. Terlihat sekali sampai sekarang. Mungkin efek pemijatan yang cukup
bertenaga sampai-sampai seperti itu. Saya lebih suka melihat ulat bulu yang
megal-megol menyebrangi jalan dari pada si coro yang nongol. Terlalu riskan
untuk jantung saya.
Sampai-sampai mendengar nama si coro saja saya
sudah cukup kaget dan merinding. Awalnya mungkin hanya beberapa alasan kecil
saya membenci si coro, namun ternyata si coro malah semakin berulah dengan
wajah innocent-nya itu makanya saya semakin jijik dan trauma. Saya membenci
bukan berarti suka membunuh, bagaimana mau membunuh si coro, lha wong
melihatnya dari jarak 5 meter saja saya sudah kabur. Hahaha…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar