PEKERJAAN

Ahad, 14 Januari 2012. 11.33 wib
Di sunyinya kotak 17 yang mencekam. Huft, bertahanlah!
 Betapa sengsaranya, tidak memiliki pekerjaan.

Itu mungkin pernyataan bagi sebagian besar para sarjana muda yang baru saja menyelesaikan masa kuliahnya dan masih bingung mencari lowongan pekerjaan kesana-kemari. Tak terkecuali saya, tetapi mungkin bedanya, saya tidak hanya seorang sarjana segar yang baru selesai di wisuda beberapa bulan yang lalu tetapi juga pengacara ‘pengangguran banyak acara’ karena saya memang sedang menganggur dan tidak sedang mencari pekerjaan. Disebut sebagai ‘pengacara’ karena memang acara saya seperti sebuah bola yang oper kanan oper kiri dan tidak tetap di satu tangan saja. Di anggap memiliki pekerjaan, semua pekerjaan saya tidak layak dianggap sebagai pekerjaan. Terkadang, saya sendiri juga bingung dengan acara saya sendiri yang kadang dalam satu waktu bejibunnya minta ampun lalu tiba-tiba menganggur sama sekali.
Beberapa waktu lalu, orang tua saya sempat menyindir dengan cukup halus mengenai pekerjaan saya sebagai seorang sarjana. Bukannya mencari, saya malah ingin sekali menikmati waktu-waktu pasca melulus dari S1 ini dengan santai. Membuat orang tua saya geleng-geleng kepala dan heran dengan tingkah polah saya yang aneh ini. Ayah juga sempat mengorek informasi mengenai masa depan dan rencana saya untuk melanjutkan S2. Maka, saya jawab seadanya kalau saya sedang mempersiapkan studi lanjut saya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Lama sekali saya berpikir dan sempat terpengaruh bingung juga ketika hampir semua teman-teman seangkatan saya sudah mendapatkan posisi lumayan ngejreng di berbagai tempat. Bahkan, sahabat saya saja sekarang sudah bekerja menjadi seorang teller di sebuah bank terkemuka di Indonesia dan yang satunya lagi menjadi seorang editor sebuah penerbitan buku madani. Sempat terpikir bagaimana ya dengan nasib saya? hehehe, saya garuk-garuk kepala sendiri bahkan cukup tersindir ketika salah seorang kawan mengatakan ‘sepertinya tidak banyak kegiatan yang bisa mengalihkan perhatian’.
Mengingat pekerjaan memang sebuah bentuk lain dari kemandirian dan pengasahan skill, saya berpikir bahwa mendapatkan pekerjaan itu adalah sisi lain untuk menaklukkan rasa takut. Menaklukkan rasa takut tak hanya cukup ketika anda mengurai ketegangan adrenalin saja. Bedanya, dalam pekerjaan anda di tuntut untuk menjadi manusia yang memiliki kematangan skill yang tak terbatas. Dan jika anda tidak memiliki cukup kemampuan di bidang yang ingin anda masuki maka anda harus mulai belajar pertama kali untuk menaklukkan rasa takut tidak di terima. Dari mulai pendaftaran saja, anda dipaksa untuk menjadi seorang pemberani yang harus menyingkirkan sisi negative dari pikiran. Berpikir negative karena takut tidak di terima, di remehkan lalu di anggap tidak layak menempati posisi sebagai seorang pegawai di institusi tersebut. Menyingkirkan pikiran negative memang tidak semudah mencari jarum di tumpukan jerami, bergelut dan memerangi ketakutan yang anda ciptakan sendiri bukanlah hal yang mudah, terutama saat terasa sekali rasa takut menumpuk menjadi sebentuk keputusasaan. Padahal dalam dunia kerja, apapun posisi dan pekerjaan yang dipilih dan ditekuni, putus asa dan takut menjadi kendala kasat mata yang mengancam kreatifitas dan inovasi kinerja. Bagaimana seorang bisa mencapai target yang di harapkan bila belum maju ke medan perang saja sudah lari terbirit-birit, takut tertembak musuh lalu jatuh dan mati. Rasa takut yang menghambat ini mestinya harus disingkirkan tanpa pikir panjang lagi. Lalu pertanyaannya, bagaimana caranya agar rasa takut itu terurai dan mampu menampilkan pribadi yang percaya diri? Jawabannya sederhana saja, jangan takut. Taklukkan rasa takut itu sekeras mungkin dengan menantangnya untuk lebih inovatif dalam berkarya. Menjadikan rasa takut sebagai motivasi untuk berani dan mendorongnya menjadi sebuah karakter yang produktif sekaligus terbuka.
Berlaku pula untuk para lulusan segar yang sedang mencari pekerjaan bergengsi. Hanya mereka yang berani mencoba sajalah mimpi ada di genggaman. Modal utama para pebisnis kelas atas dan pemegang korporasi bergengsi di Indonesia juga tak pernah lepas dari rasa takut meskipun sudah menjadi dedengkot di dunia bisnis. Karena keberanian mengambil keputusanlah yang menjadikan mereka tak takut mencoba. Coba bayangkan jika saja para pengusaha kelas kakap itu takut melempar umpan ke pasar dunia, maka yang mereka peroleh hanyalah duduk stagnan di kursi masing-masing sambil menunggu asetnya mengurus dan kecil. Keberanian dalam berinovasi menjadikan aset dan kesuksesan mereka dinamis. Begitu pula dengan anda, jika anda lebih memilih diam menunggu pekerjaan menghampiri (seperti yang sedang saya lakukan), maka tunggulah anda mengurus lalu mengecil dan akhirnya mati tertelan rotasi waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar